Tanpa Konstruksi Sosial Soal Gender, Kita Tetep Perempuan Kok!

by
Tanpa Konstruksi Sosial Soal Gender, Kita Tetep Perempuan Kok!

Banyak yang bilang, jadi seorang perempuan itu bener-bener ribet. Harus jago makeup, harus lemah lembut, harus jago masak, dan harus jago mengurus rumah. Kalau mau ditarik lebih jauh, ke depannya setelah menikah, jadi perempuan itu harus jago mengurus anak. Ada banyak banget nilai yang harus dianut sama seorang perempuan buat ‘menjadi perempuan’ seutuhnya. Kalo melenceng dari nilai-nilai itu, kita bakal dibilang ‘belum menjadi perempuan’. Duh, membingungkan banget, sih. Emang bisa seseorang yang terlahir sebagai perempuan disebut ‘belum menjadi perempuan’? Logic, please!

 

BELUM JADI PEREMPUAN KALO…

Ungkapan ‘belum jadi perempuan’ biasanya dilontarin ke perempuan dalam kondisi-kondisi tertentu. Kita merangkum, seenggaknya ada lima kondisi yang membuat seseorang belum bisa disebut ‘perempuan’ sama temen-temen atau lingkungannya.

  • Nggak Ngerti Make Up

Make up dan perempuan selalu dianggap punya keselarasan. Seolah-olah kalo nggak pake makeup, seorang perempuan belum bisa dianggap perempuan seutuhnya. Ditambah lagi dalam tiga tahun terakhir industri beauty semakin nge-hype ditandai dengan menjamurnya kemunculan beauty vlogger dan blogger. Coba deh perhatiin salah satu temen kita yang jarang atau emang nggak suka pake makeup. Ketika suatu hari dia pake lipstik di bibirnya, pasti ada aja temen lain yang berkomentar, “Cie, udah jadi cewek nih!” Lah, emang selama ini belum?!

  • Nggak Pake Rok sama Dress

Lagi-lagi, bakal ada komentar “Cie, udah jadi cewek nih!” buat perempuan yang jarang pake rok tapi tiba-tiba pake rok atau dress di occasion tertentu. Perempuan yang selalu pake celana jeans dan kaos biasanya nggak jauh dengan label ‘cewek tomboy’. Padahal, bisa aja mereka emang lebih nyaman pake celana karena praktis dipake jalan ke mana-mana. Mereka takut, kalaupun mereka harus beli rok atau dress, pakaian-pakaian itu cuma bakal numpuk di lemari karena jarang dipake. Mubazir.

  • Nggak Rajin Bersih-Bersih

Pernah denger komentar “Perempuan kok kamarnya jorok banget, sih?” ketika salah satu temen berkunjung ke kamar kita. Bayangin aja waktu itu keadaan kamar emang lagi nggak keurus gara-gara kita terlalu sibuk dan nggak sempet beres-beres. Padahal, rajin beres-beres itu adalah kewajiban semua pemilik kamar di dunia. Kenapa dia harus bawa-bawa kata ‘perempuan’ dalam kalimat komentarnya?

  • Nggak Bisa Masak

Sama kayak yang nggak rajin bersih-bersih, perempuan yang nggak bisa masak sering banget dibilang, “Kamu kan perempuan, kok nggak bisa masak?”. Seolah-olah, kewajiban bisa memasak cuma milik perempuan. Kemudian muncul ungkapan ‘calon istri yang baik’ buat perempuan yang bisa masak, seolah-olah kalo belum bisa masak perempuan belum pantes menikah. Well, kalaupun ternyata banyak perempuan jago memasak, itu kan karena mereka memang terlatih dan jago masak, bukan gara-gara mereka perempuan. Siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki, pasti bakalan jago memasak kalo belajar masak, bukan?

  • Ngomongnya Nggak Lembut

Pernah denger komentar “Perempuan itu yang halus ngomongnya,” atau “Perempuan nggak pantes ngomong gitu,” ketika kita nggak sengaja atau terpaksa ngomong kasar di depan orang lain? Kalo kita pikirin lagi, kalimat di komentar itu bener-bener mindblowing, lho. Logikanya, kalo ‘perempuan nggak pantes’ berarti ‘gender lain selain perempuan pantes’ ngomong kasar dong?

 

MEMAHAMI KONSTRUKSI SOSIAL SOAL GENDER

Buat menjawab keheranan kita tentang ‘menjadi seorang perempuan’, kita harus paham kalo gender dan kelamin (sex) berbeda. Jangan sampe kita salah mengartikan apa yang lingkungan kita bilang ‘kodrat perempuan’ sebagai hal yang berhubungan dengan sex. Padahal, apa yang dimaksud sex adalah kondisi biologis tubuh yang sama sekali nggak bisa berubah: haid, bisa hamil, dan punya organ-organ tubuh tertentu. Sementara itu, apa yang disebut orang sebagai ‘kodrat’ sebenernya cuma bagian dari konstruksi sosial soal gender.

Kalo kata Nina Rosenstad, “Gender refers to the set of characteristics distinguishing between male and female, particularly in the cases of men and women. It differentiates between men and women of cultural origin, that is, it is a social construct , which is a matter of nurture, since cultures differ as well as the expectations and rules for male and female, which are grounded in the biological and anatomical distinction.

 

Dari konstruksi sosial soal gender, kita kemudian kenal istilah maskulin dan feminin. Kedua istilah inilah yang secara konstruksi sosial menggolongkan sifat-sifat dan ciri-ciri tertentu buat perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, perempuan itu harus punya ciri-ciri feminin kayak lemah lembut, lebih mementingkan perasaan, bertutur kata baik, mengayomi, dan lebih gampang nangis. Atau sebaliknya, laki-laki itu harus punya ciri-ciri maskulin kayak kuat, nggak cengeng, logis, dan tegas. Penggolongan ini kadang bikin kita lupa, nggak menutup kemungkinan ada ciri-ciri maskulin yang dimilikin perempuan. Bisa juga sebaliknya, ada ciri-ciri feminin yang dimilikin laki-laki.

Konstruksi sosial soal gender tentu aja melewati proses yang panjang dan berbeda-beda di banyak tempat. Kepercayaan moral setempat, nilai agama, nilai ketimuran, dan paham patriarki-matriarki adalah faktor-faktor yang mengaruhin terjadinya konstruksi sosial soal peran gender. Belum lagi ditambah kekuatan media massa yang makin menguatkan dan menyebarkan pembagian peran gender itu.

Untuk itu, kita udah nggak perlu lagi risau apalagi khawatir sama konstruksi sosial soal gender perempuan. Mau ngerti makeup atau nggak, pake rok atau celana, bisa masak atau nggak, lemah lembut atau nggak, mentingin perasaan atau berpikir logis, kita tetep perempuan tulen kok selama kita menganggapnya demikian. Udah saatnya kita lampaui batas definisi ‘menjadi perempuan’ yang kita kenal selama ini!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *