Waktu kita masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP), kita nggak pernah sungkan menyebut anak-anak satu sekolah sebagai ‘teman’ kita. Seiring beranjak dewasa, naik ke bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan kuliah, kita mulai punya pemahaman tersendiri soal makna ‘pertemanan’.
Kita bakal coba mengupas level pertemanan yang kadang nggak kita sadarin. Kenapa nggak kita sadarin? Soalnya, masih banyak dari kita yang dengan mudah menyebut seseorang sebagai ‘temen’, tapi sebenernya hubungan kita sama dia nggak lebih dari dua orang yang bersekolah di tempat yang sama.
LEVEL PERTEMANAN YANG HARUS KITA SADARIN
Coba deh kita bikin list 35 nama orang-orang yang kita anggap deket. Bebas siapa aja, mau keluarga, sepupu, temen sekelas, temen dari SD, temen satu les, atau bahkan temen satu project kuliah. Nah, dari ke semua orang itu, kita bakal coba kupas sedalem apa level pertemanan kita sama dia. Angka-angka di tiap level pertemanan ini didasarin pada peneiltian yang dilakuin sama antropologis Robin Dunbar, dilansir dari Huffington Post.
1. KENALAN (ACQUAINTANCE)
Tanpa kita sadarin, di luar 35 nama orang-orang yang udah kita list tadi sebenernya udah bukan temen kita. Kita emang pernah kenalan sama mereka, pernah sekelas sama mereka, sempet terlibat dalam satu project sama mereka, atau sempet berorganisasi bareng mereka. Tapi, kita tentu harus inget kalau kita nggak pernah sharing cerita dan ide personal ke mereka, bukan? Oleh karena itu, orang-orang di luar angka 35 tadi adalah ‘kenalan’ bagi kita. Bahkan, menurut Dunbar juga, seseorang nggak bisa punya lingkaran sosial dengan lebih dari 150 orang (konsep kayak gini pernah dipake sama sosial media Path di awal pertama mereka keluar, dengan ngebatesin jumlah pertemanan dalam satu akun).
2. TEMEN (FRIEND)
Nah, 35 nama orang yang masuk list itulah yang merupakan temen kita. Nggak terlepas dari orang-orang itu punya ikatan darah atau nggak, merekalah yang kita anggap teman dalam hidup kita. Dengan mereka kita sering berinteraksi; saling bertukar kabar, bertukar cerita, bertemu dan menghabiskan waktu bersama, bahkan saling berusaha nggak putus komunikasi. Tapi, nggak semua hal bisa kita ceritain ke mereka.
3. TEMEN DEKET (CLOSE FRIEND)
Oleh karena itu, dari 35 orang tadi, pilih sepuluh nama yang kita rasa punya ikatan lebih deket sama kita. Mungkin yang tersisa tinggal orang-orang yang tiap hari masih komunikasi sama kita, minimal lewat chat di Line atau Whatsapp. Kepada sepuluh orang itu kita sering share cerita random, link artikel galau, playlist Spotify terbaru, bahkan link video YouTube yang worth it buat ditonton. Ketika kita punya ide membuat sesuatu, sepuluh orang inilah yang kita percaya buat menampung ide tersebut. Ketika kita butuh saran tentang kehidupan, butuh bahu buat tempat menumpahkan air mata, kesepuluh orang inilah yang siap sedia.
4. SAHABAT (BEST FRIEND)
Terakhir, dari sepuluh orang itu, pilih lagi lima orang yang paling deket. Berdasarkan penelitian yang dilakuin Dunbar, seorang individu cuma bisa punya lima orang terdekat dalam satu waktu. Nah, bukan cuma jadi pendengar cerita kita, lima orang ini justru ikut terlibat dalam cerita-cerita kita itu. Sebaliknya, kita bukan cuma jadi pemberi saran buat masalah mereka, tapi kita pasti menganggap masalah mereka adalah masalah kita juga. Dari kelima orang itu, kita bakal sadarin kalo di antara mereka mungkin ada satu sampe tiga orang yang merupakan anggota keluarga terdekat, bisa ibu, saodara, atau ayah. Sisanya, satu atau dua orang temen yang pernah ada di satu titik terburuk dalam hidup kita.
KUNCINYA: MEMBANGUN PERTEMANAN YANG TULUS
Satu hal yang harus kita garisbawahin buat menjalin hubungan pertemanan sehat adalah ketulusan (genuine). Selama ini kita seringkali salah menganggap ketulusan sebagai sikap berbaik hati sama orang lain: berusaha membantu mereka, ada saat mereka membutuhkan, dan berusaha menjaga perasaan mereka. Padahal, ketulusan hanya bisa dibangun ketika kita dan ‘teman’ kita sama-sama tahu makna dan nilai dari hubungan pertemanan yang dijalanin. Sebagai contoh, kita tentu pernah menjenguk ‘teman’ yang sakit atau hadir pada perayaan wisuda seorang ‘teman’. Nah, dari situ kita bisa bedain kepada siapa kita merasa ‘datang karena merasa nggak enak kalo nggak hadir’ dan ‘datang karena kita merasa kehadiran kita berarti buat mereka’.
Kalo kita udah fokus pada gimana cara kita membangun pertemanan yang tulus, kita nggak bakalan lagi ngerasa aneh menyebut rekan satu organisasi sebagai sekedar ‘kenalan’ kita. Kita juga bakalan mulai sadar kalo nggak semua orang berhak memperoleh pengorbanan waktu dan effort kita. Nggak perlu lagi tuh merasa nggak enak hati karena jarang nanyain kabar ke temen deket semasa SD karena kita merasa udah jauh sama mereka. Nggak usah juga mempertahankan hubungan pertemanan yang sebenernya toxic banget, yang bikin kita lebih sering merasa nggak enak daripada disayangi dan menyayangi. We’ve grown up now, and we should accept the fact that friendship is about quality, not quantity.